Rinai masih mengguyur bumi
Menguarkan aroma tanah basah dibauri wangi rerumput dan bebunga
Sementara senja enggan hadir, membiarkan mentari mencoba menerobos kabut
Dan hujan pun berkisah,
Sesungguhnya tak pantas ku hadir masa ini
Musim ini bukanlah musimku
Langit ini bukanlah milikku
Dan sesungguhnya aku lelah, mengguyur dan terus mengguyur
Terasa berat bebanku, penat tubuhku
Dedaunan meliuk mengikuti dahannya, menyelaraskan irama angin
Pasrah menerima tetesan dan kadang dera jutaan embun langit
Sementara mentari makin lelah tak berdaya
Dan hujan pun berkisah,
Mudaku telah redup, gairahku tak lagi meletup
Musim ini mestinya aku hibernasi
Tak lagi menggelontor tanah tiap hari
Karena ini bukan musimku, luapan sungai bukan amarahku
Tanah mulai pekat, porinya tertutup rapat mengalirkan air kental
Katak-katak memadukan suara, melantunkan nyanyian hujan
Dedaun teratai laksana podium dan kuncup teratai sang maestro
Dan hujan pun berkisah,
Telah banyak sawah ladang kuhidupi, padi pun kubuahi
Sungai dan laut memujaku, sesembahan selalu kupangku
Namun mereka mulai membenciku, memaki dan mengutuki
Sungguh aku tak marah, ini memang bukan musimku
Cakrawala mengerlingkan semburat jingga, hitam, jingga lagi
Peraduan mentari telah bertabur bunga dan sesaji
Dewi Bulan berusaha menyibak tirai jutaan tetes air
Dan hujan pun menutup kisahnya,
Jangan kau kutuki aku, panggilan alam kini tak lagi menentu, rusakkah?
Aku hanyalah sang pengemban, pemangku amanat, entah siapa berkhianat
Ingin kuikuti kembaraku saja dan kembali pada musimku
Namun, tak kuasa ku memberontak pada Sang Pemilikku
Dan hujan pun berhenti
Puisi ini diikutsertakan pada Kuis “Poetry Hujan” yang diselenggarakan oleh Bang Aswi dan Puteri Amirillis